Sunday, July 9, 2017

Mengembalikan Khittah Guru

http://www.panjimas.com/wp-content/uploads/2017/06/guru-ngajar.jpg

MENGEMBALIKAN KHITTAH GURU

TEPAT 25 November, guru di republik ini bakal merayakan Hari Guru Nasional (HGN). HGN 2015 terasa lebih spesial. Sebab Kemendikbud melabelinya menjadi HGN ke-21. Seakan tersimpan pesan; ayo para guru murid kalian adalah generasi abad 21.

Menilik satu tahun ke belakang, isu keguruan di tahun pertama Kabinet Kerja begitu bising. Diawali dengan kabar penghapusan tunjangan profesi guru (TPG). Kabar penghapusan tunjangan ini dikaitkan dengan regulasi penghasilan PNS di dalam Undang-Undang 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Di dalam UU ASN itu dinyatakan bahwa penghasilan PNS hanya ada tiga item. Yaitu gaji, tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan. Kabar penghapusan TPG itu sontak membuat gaduh mulai dari kantor Kemendikbud di Senayan sampai di sekolah-sekolah.

Informasi penghapusan TPG reda, muncul lagi kegaduhan soal pemangkasan nominal TPG yang diterima guru. Pemangkasan itu dikait-kaitkan dengan nilai yang diperoleh guru dalam uji kompetensi guru (UKG). UKG ini sampai saat ini masih berjalan secara online sampai 27 November nanti.

Banyak guru yang cemas. Mendadak sekali mereka diharuskan mengikuti ujian kompetensi. Kemudian jika nilainya jelek atau di bawah standar Kemendikbud, nominal TPG mereka bakal dipotong.

Memang Kemendikbud pada akhirnya bisa meredam isu miring itu. Namun di sejumlah tempat masih ada guru yang mengikuti UKG dengan perasaan cemas. Bahkan di Padeglang, Banten, ada guru sepuh yang nekat menyewa joki untuk mengerjakan soal UKG. Tentu kasus perjokian di kalangan guru ini sangat memprihatinkan.

Mendekati puncak pesta guru, kebisingan di dunia guru bukan hilang tapi malah muncul kembali. Pemicunya adalah respon dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang merasa sebagai induk organisasi profesi guru, karena tidak dilibatkan dalam HGN oleh Kemendikbud. Wajar PGRI keberatan, karena selama ini HGN yang digelar pemerintah selalu dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun PGRI setiap 25 November.

PGRI yang berbasis di kawasan Tanah Abang terus menyampaikan rasa kecewanya ke Senayan, basis Kemendikbud. Tapi di sisi lain, Kemendikbud menolak disebut tidak mengajak PGRI. Mereka beralasan sudah mengundang PGRI, tetapi tidak ada balasan.

Sejumlah kebisingan di dunia guru itu idealnya tidak perlu berlanjut. Baik dengan topik yang sejenis maupun berbeda. Momentum HGN ke-21 harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menata sistem pembinaan guru. Baik itu oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun organisasi profesi guru. Semua pihak ini harus bersatu untuk mengembalikan khittah guru.

Banyak rujukan yang bisa dipakai untuk mengembalikan khittah guru. Pertama kita bisa merujuk pada tuntunan di Alquran. Di dalam Alquran sosok guru ideal bisa diresapi dalam arti dan kandungan Surat Al-Alaq. Di dalam surat kategori Makkiyah yang terdiri dari 19 ayat ini, tergambar bagaimana sosok ideal seorang guru.

Di dalam surat itu terbesit sosok guru ideal adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam dan luas. Kemudian guru adalah sosok yang dituntut untuk tidak berhenti belajar. Guru harus menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat. Jika guru terus belajar, imbasnya pembelajaran di kelas tidak statis. Pembelajaran bakal terus berkembang.

Rujukan guru ideal berikutnya adalah Undang-Undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di pasal 20 dinyatakan dengan jelas bahwa guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Jadi tanpa dipaksa para guru professional harus tunduk kepada ketentuan undang-undang itu. Guru memiliki kewajiban moral untuk terus belajar. Kalau perlu ditunjukkan kepada muridnya ketika sedang belajar. Supaya guru tidak memiliki beban moral ketika menyeru muridnya untuk belajar.

Rujukan selanjutnya adalah petuah dari Ki Hajar Dewantara; Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Pria yang terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat itu disapa Ki, karena Ki adalah sebutan guru laki-laki.

Para guru harus berlomba untuk disebut Ki selayaknya Ki Hajar Dewantara. Atau Ki pada sebutan dalang-dalang beken. Para dalang top dijuluki Ki karena dia juga bertindak sebagai guru, melalui media wayang. Saking hebatnya para dalang bisa membawa ’’muridnya’’ menikmati wayang semalam suntuk tanpa merasa kantuk.

Banyak cara yang bisa dilakukan supaya guru bisa menjadi pembelajar. Caranya harus ekstrim, karena sudah terlalu lama guru-guru berada di titik nyaman. Titik nyama dimana dia cukup mengajar tanpa mau belajar lagi. Salah satunya adalah membentuk semacam Gerakan Guru Belajar.

Gerakan ini bisa menggunakan hari libur sekolah setiap Sabtu. Pada hari Sabtu guru-guru yang libur itu diwajibkan mengikuti kelas. Materinya bisa terkait pelajaran yang diampu atau urusan ilmu pedagogik. Pematerinya bisa dari teman sejawat guru atau mengundang dosen dari bidang keguruan.

Dananya dari mana? Kepala sekolah bisa mengambil sebagian TPG yang diterima guru. Guru tidak akan protes kalau pemotongan itu memang untuk upgrading kemampuan dan transparan. Ketimbang TPG disunat tanpa alasan yang jelas oleh oknum kepala sekolah atau orang dinas pendidikan.

Supaya meriah seluruh kegiatan ekstrakurikuler juga dipusatkan setiap Sabtu. Jadi para murid bisa melihat langsung para gurunya belajar meningkatan kualitasnya. Jika kondisi ini terwujud, betapa hidupnya iklim akademis di sekolah. Selamat hari guru. (*)

M. Hilmi Setiawan
Wartawan Jawa Pos
email : saya@hilmisetiawan.net

PPG, Pabrik Mencetak Guru Bukan Tutor

http://www.panjimas.com/wp-content/uploads/2017/06/guru-ngajar.jpg

PPG, Pabrik Mencetak Guru Bukan Tutor

ERA baru mencetak guru professional sudah dimulai. Yakni diberlakukannya skema anyar untuk mendapatkan sertifikat profesi guru (gelarnya Gr). Pemerintah mulai menggulirkan program Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Penyelenggara PPG adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Sementara pelaksananya kampus lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Semacam Unesa di Surabaya, UNY di Jogjakarta, atau UNJ di Jakarta.

Sebagai pemanasan PPG dibuka dengan sistem bersubsidi. Pemerintah menyiapkan subsidi Rp 7,5 juta/peserta. Peserta PPG sendiri ada dua kelompok. Yaitu sarjana yang belum pernah menjadi guru (PPG prajabatan). Dan guru yang belum bersertifikat profesi (PPG dalam jabatan).

Seperti dugaan semula, pemerintah membuka akses sarjana non Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) untuk ikut PPG. Seperti Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), fakultas teknik, bahkan lulusan politeknik yang bergelar D-IV sekalipun bisa mendaftar PPG.

Pemerintah perlu mendudukkan apa itu guru. Di dalam pasal 1 UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sangat jelas definisi guru. Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar (dikdas), dan pendidikan menengah (dikmen).

Begitu komplek peran atau tugas seorang guru dalam UU tersebut. Sehingga wajar selama empat tahun kuliah di FKIP, banyak sekali mata kuliah khusus tentang keguruan atau pedidikan. Sebut saja psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum, evaluasi pendidikan, sampai filsafat pendidikan. Kemudian ada metodologi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, micro teaching (mengajar teman kuliah di kampus), hingga praktik mengajar di sekolah (PPL).

Sayangnya pemerintah dengan mudahnya membuka akses sarjana non keguruan ikut dicetak jadi guru melalui PPG. Dimana durasinya cukup singat, hanya setahun. Belum lagi sekitar empat sampai enam bulan diantaranya, digunakan untuk praktik mengajar di sekolah.

Praktis hanya ada waktu paling lama delapan bulan bagi mereka, untuk melahap sekian banyak mata kuliah keguruan. Apakah sanggup? Jika sanggup, bagaimana caranya?

Pemerintah perlu kembali ke jalur yang benar. Bahwa mereka ingin mencetak guru professional. Bukan mencetak tutor. Para sarjana non keguruan itu bisa jadi sangat jago untuk bidang matematika, fisika, atau bahkan kimia. Tetapi mereka bakal bertugas sebagai guru. Bukan sebagai tutor.

Lain cerita jika para sarjana non keguruan itu bekerja di bimbingan belajar (bimbel). Kecakapan mereka di mata pelajaran tertentu bisa bermanfaat bagi peserta bimbel. Tetapi jika diterapkan dalam pembelajaran di sekolah, lain ceritanya.

Mereka bisa saja menjawab 100 soal matematika di buku pelajaran. Tetapi apakah bisa mereka menularkan kemampuan itu ke siswa. Dapatkan mereka menyusun perencanaan pembelajaran. Sehingga peroses belajar di kelas kondusif dan terencana. Apakah bisa mereka mengevaluasi hasil belajar siswa. Sehingga bisa membuat program peningkatan berikutnya.

Bagi kelompok yang mendukung program pemerintah, pasti jawabannya mampu. Mereka bisa berargumen yang penting peserta PPG menguasai konten yang nanti diajarkan se siswa. Urusan kompetensi atau keahlian keguruan belakangan.

Sebaiknya mari dibuka kembali pasal 7 UU 14/2005. Pasal ini menegaskan guru adalah profesi khusus berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Diantaranya prinsip memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.

Para sarjana non keguruan yang diperbolehkan ikut PPG, diragukan memiliki prinsip itu. Sebab jika mereka merasa memiliki bakat, minat, dan panggilan jiwa menjadi guru, kenapa sejak awal tidak kuliah di FKIP. Toh di FKIP kampus tertentu, ada jurusan guru MIPA, bahasa, bahkan vokasi.

Jangan-jangan, maaf jadi berprasangka negatif, sarjana non keguruan ikut melamar PPG karena kesulitan cari kerja di bidangnya. Akhirnya banting setir jadi guru. Apalagi ada iming-iming pemberian tunjangan profesi guru (TPG) yang menggiurkan.

Dari satu prinsip itu saja, sulit menerima para sarjana non keguruan untuk ikut PPG. Kasihan para siswa di kelas. Tujuan pendidikan untuk menciptakan insan paripurna menjadi terganggu. Siswa bisa saja mahir operasi penambahan, pengurangan, pembagian. Tetapi ada yang luput, yaitu penanaman karakter.

Mumpung belum efektif berjalan, masih ada waktu menata ulang pelaksanaan PPG. Pemerintah sebaiknya fokus memberdayakan sarjana lulusan FKIP untuk mengikuti PPG. Sebagai perbandingan, untuk ikut pendidikan profesi dokter saja harus sarjana pendidikan dokter. Ini untuk mengikuti PPG kok gado-gado.


Sebagai mana diketahui lulusan sarjana keguruan setiap tahunnya sangat banyak. Jumlahnya mencapai 25 persen dari total lulusan seluruh disiplin ilmu. Jika pemerintah merasa para sarjana lulusan FKIP ini kurang ahli di bidang keahlian mata pelajaran tertentu, proses kuliahnya yang diperbaiki. Bukan kemudian membuka akses untuk sarjana non keguruan. (*)

M. Hilmi Setiawan
Wartawan Jawa Pos
email : saya@hilmisetiawan.net