Sunday, July 9, 2017

PPG, Pabrik Mencetak Guru Bukan Tutor

http://www.panjimas.com/wp-content/uploads/2017/06/guru-ngajar.jpg

PPG, Pabrik Mencetak Guru Bukan Tutor

ERA baru mencetak guru professional sudah dimulai. Yakni diberlakukannya skema anyar untuk mendapatkan sertifikat profesi guru (gelarnya Gr). Pemerintah mulai menggulirkan program Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Penyelenggara PPG adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Sementara pelaksananya kampus lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Semacam Unesa di Surabaya, UNY di Jogjakarta, atau UNJ di Jakarta.

Sebagai pemanasan PPG dibuka dengan sistem bersubsidi. Pemerintah menyiapkan subsidi Rp 7,5 juta/peserta. Peserta PPG sendiri ada dua kelompok. Yaitu sarjana yang belum pernah menjadi guru (PPG prajabatan). Dan guru yang belum bersertifikat profesi (PPG dalam jabatan).

Seperti dugaan semula, pemerintah membuka akses sarjana non Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) untuk ikut PPG. Seperti Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), fakultas teknik, bahkan lulusan politeknik yang bergelar D-IV sekalipun bisa mendaftar PPG.

Pemerintah perlu mendudukkan apa itu guru. Di dalam pasal 1 UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, sangat jelas definisi guru. Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar (dikdas), dan pendidikan menengah (dikmen).

Begitu komplek peran atau tugas seorang guru dalam UU tersebut. Sehingga wajar selama empat tahun kuliah di FKIP, banyak sekali mata kuliah khusus tentang keguruan atau pedidikan. Sebut saja psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum, evaluasi pendidikan, sampai filsafat pendidikan. Kemudian ada metodologi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, micro teaching (mengajar teman kuliah di kampus), hingga praktik mengajar di sekolah (PPL).

Sayangnya pemerintah dengan mudahnya membuka akses sarjana non keguruan ikut dicetak jadi guru melalui PPG. Dimana durasinya cukup singat, hanya setahun. Belum lagi sekitar empat sampai enam bulan diantaranya, digunakan untuk praktik mengajar di sekolah.

Praktis hanya ada waktu paling lama delapan bulan bagi mereka, untuk melahap sekian banyak mata kuliah keguruan. Apakah sanggup? Jika sanggup, bagaimana caranya?

Pemerintah perlu kembali ke jalur yang benar. Bahwa mereka ingin mencetak guru professional. Bukan mencetak tutor. Para sarjana non keguruan itu bisa jadi sangat jago untuk bidang matematika, fisika, atau bahkan kimia. Tetapi mereka bakal bertugas sebagai guru. Bukan sebagai tutor.

Lain cerita jika para sarjana non keguruan itu bekerja di bimbingan belajar (bimbel). Kecakapan mereka di mata pelajaran tertentu bisa bermanfaat bagi peserta bimbel. Tetapi jika diterapkan dalam pembelajaran di sekolah, lain ceritanya.

Mereka bisa saja menjawab 100 soal matematika di buku pelajaran. Tetapi apakah bisa mereka menularkan kemampuan itu ke siswa. Dapatkan mereka menyusun perencanaan pembelajaran. Sehingga peroses belajar di kelas kondusif dan terencana. Apakah bisa mereka mengevaluasi hasil belajar siswa. Sehingga bisa membuat program peningkatan berikutnya.

Bagi kelompok yang mendukung program pemerintah, pasti jawabannya mampu. Mereka bisa berargumen yang penting peserta PPG menguasai konten yang nanti diajarkan se siswa. Urusan kompetensi atau keahlian keguruan belakangan.

Sebaiknya mari dibuka kembali pasal 7 UU 14/2005. Pasal ini menegaskan guru adalah profesi khusus berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Diantaranya prinsip memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.

Para sarjana non keguruan yang diperbolehkan ikut PPG, diragukan memiliki prinsip itu. Sebab jika mereka merasa memiliki bakat, minat, dan panggilan jiwa menjadi guru, kenapa sejak awal tidak kuliah di FKIP. Toh di FKIP kampus tertentu, ada jurusan guru MIPA, bahasa, bahkan vokasi.

Jangan-jangan, maaf jadi berprasangka negatif, sarjana non keguruan ikut melamar PPG karena kesulitan cari kerja di bidangnya. Akhirnya banting setir jadi guru. Apalagi ada iming-iming pemberian tunjangan profesi guru (TPG) yang menggiurkan.

Dari satu prinsip itu saja, sulit menerima para sarjana non keguruan untuk ikut PPG. Kasihan para siswa di kelas. Tujuan pendidikan untuk menciptakan insan paripurna menjadi terganggu. Siswa bisa saja mahir operasi penambahan, pengurangan, pembagian. Tetapi ada yang luput, yaitu penanaman karakter.

Mumpung belum efektif berjalan, masih ada waktu menata ulang pelaksanaan PPG. Pemerintah sebaiknya fokus memberdayakan sarjana lulusan FKIP untuk mengikuti PPG. Sebagai perbandingan, untuk ikut pendidikan profesi dokter saja harus sarjana pendidikan dokter. Ini untuk mengikuti PPG kok gado-gado.


Sebagai mana diketahui lulusan sarjana keguruan setiap tahunnya sangat banyak. Jumlahnya mencapai 25 persen dari total lulusan seluruh disiplin ilmu. Jika pemerintah merasa para sarjana lulusan FKIP ini kurang ahli di bidang keahlian mata pelajaran tertentu, proses kuliahnya yang diperbaiki. Bukan kemudian membuka akses untuk sarjana non keguruan. (*)

M. Hilmi Setiawan
Wartawan Jawa Pos
email : saya@hilmisetiawan.net

No comments:

Post a Comment