http://www.panjimas.com/wp-content/uploads/2017/06/guru-ngajar.jpg |
PPG, Pabrik Mencetak Guru Bukan Tutor
ERA baru mencetak guru professional
sudah dimulai. Yakni diberlakukannya skema anyar untuk mendapatkan sertifikat
profesi guru (gelarnya Gr). Pemerintah mulai menggulirkan program Pendidikan
Profesi Guru (PPG).
Penyelenggara
PPG adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Kemenristekdikti). Sementara pelaksananya kampus lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK). Semacam Unesa di Surabaya, UNY di Jogjakarta, atau UNJ di
Jakarta.
Sebagai
pemanasan PPG dibuka dengan sistem bersubsidi. Pemerintah menyiapkan subsidi Rp
7,5 juta/peserta. Peserta PPG sendiri ada dua kelompok. Yaitu sarjana yang
belum pernah menjadi guru (PPG prajabatan). Dan guru yang belum bersertifikat
profesi (PPG dalam jabatan).
Seperti
dugaan semula, pemerintah membuka akses sarjana non Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) untuk ikut PPG. Seperti Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (MIPA), fakultas teknik, bahkan lulusan politeknik yang
bergelar D-IV sekalipun bisa mendaftar PPG.
Pemerintah
perlu mendudukkan apa itu guru. Di dalam pasal 1 UU 14/2005 tentang Guru dan
Dosen, sangat jelas definisi guru. Guru adalah pendidik professional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik. Pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD),
pendidikan dasar (dikdas), dan pendidikan menengah (dikmen).
Begitu
komplek peran atau tugas seorang guru dalam UU tersebut. Sehingga wajar selama
empat tahun kuliah di FKIP, banyak sekali mata kuliah khusus tentang keguruan
atau pedidikan. Sebut saja psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum,
evaluasi pendidikan, sampai filsafat pendidikan. Kemudian ada metodologi
pembelajaran, perencanaan pembelajaran, micro
teaching (mengajar teman kuliah di kampus), hingga praktik mengajar di
sekolah (PPL).
Sayangnya
pemerintah dengan mudahnya membuka akses sarjana non keguruan ikut dicetak jadi
guru melalui PPG. Dimana durasinya cukup singat, hanya setahun. Belum lagi
sekitar empat sampai enam bulan diantaranya, digunakan untuk praktik mengajar
di sekolah.
Praktis
hanya ada waktu paling lama delapan bulan bagi mereka, untuk melahap sekian
banyak mata kuliah keguruan. Apakah sanggup? Jika sanggup, bagaimana caranya?
Pemerintah
perlu kembali ke jalur yang benar. Bahwa mereka ingin mencetak guru
professional. Bukan mencetak tutor. Para sarjana non keguruan itu bisa jadi
sangat jago untuk bidang matematika, fisika, atau bahkan kimia. Tetapi mereka bakal
bertugas sebagai guru. Bukan sebagai tutor.
Lain
cerita jika para sarjana non keguruan itu bekerja di bimbingan belajar
(bimbel). Kecakapan mereka di mata pelajaran tertentu bisa bermanfaat bagi
peserta bimbel. Tetapi jika diterapkan dalam pembelajaran di sekolah, lain
ceritanya.
Mereka
bisa saja menjawab 100 soal matematika di buku pelajaran. Tetapi apakah bisa
mereka menularkan kemampuan itu ke siswa. Dapatkan mereka menyusun perencanaan
pembelajaran. Sehingga peroses belajar di kelas kondusif dan terencana. Apakah
bisa mereka mengevaluasi hasil belajar siswa. Sehingga bisa membuat program peningkatan
berikutnya.
Bagi
kelompok yang mendukung program pemerintah, pasti jawabannya mampu. Mereka bisa
berargumen yang penting peserta PPG menguasai konten yang nanti diajarkan se
siswa. Urusan kompetensi atau keahlian keguruan belakangan.
Sebaiknya
mari dibuka kembali pasal 7 UU 14/2005. Pasal ini menegaskan guru adalah
profesi khusus berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Diantaranya prinsip
memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
Para
sarjana non keguruan yang diperbolehkan ikut PPG, diragukan memiliki prinsip itu.
Sebab jika mereka merasa memiliki bakat, minat, dan panggilan jiwa menjadi
guru, kenapa sejak awal tidak kuliah di FKIP. Toh di FKIP kampus tertentu, ada
jurusan guru MIPA, bahasa, bahkan vokasi.
Jangan-jangan,
maaf jadi berprasangka negatif, sarjana non keguruan ikut melamar PPG karena
kesulitan cari kerja di bidangnya. Akhirnya banting setir jadi guru. Apalagi
ada iming-iming pemberian tunjangan profesi guru (TPG) yang menggiurkan.
Dari
satu prinsip itu saja, sulit menerima para sarjana non keguruan untuk ikut PPG.
Kasihan para siswa di kelas. Tujuan pendidikan untuk menciptakan insan
paripurna menjadi terganggu. Siswa bisa saja mahir operasi penambahan,
pengurangan, pembagian. Tetapi ada yang luput, yaitu penanaman karakter.
Mumpung
belum efektif berjalan, masih ada waktu menata ulang pelaksanaan PPG.
Pemerintah sebaiknya fokus memberdayakan sarjana lulusan FKIP untuk mengikuti
PPG. Sebagai perbandingan, untuk ikut pendidikan profesi dokter saja harus
sarjana pendidikan dokter. Ini untuk mengikuti PPG kok gado-gado.
Sebagai
mana diketahui lulusan sarjana keguruan setiap tahunnya sangat banyak.
Jumlahnya mencapai 25 persen dari total lulusan seluruh disiplin ilmu. Jika
pemerintah merasa para sarjana lulusan FKIP ini kurang ahli di bidang keahlian
mata pelajaran tertentu, proses kuliahnya yang diperbaiki. Bukan kemudian
membuka akses untuk sarjana non keguruan. (*)
M. Hilmi Setiawan
Wartawan Jawa Pos
email : saya@hilmisetiawan.net
No comments:
Post a Comment