http://www.panjimas.com/wp-content/uploads/2017/06/guru-ngajar.jpg |
MENGEMBALIKAN KHITTAH GURU
TEPAT
25 November, guru di republik ini bakal merayakan Hari Guru Nasional (HGN). HGN
2015 terasa lebih spesial. Sebab Kemendikbud melabelinya menjadi HGN ke-21.
Seakan tersimpan pesan; ayo para guru murid kalian adalah generasi abad 21.
Menilik
satu tahun ke belakang, isu keguruan di tahun pertama Kabinet Kerja begitu
bising. Diawali dengan kabar penghapusan tunjangan profesi guru (TPG). Kabar
penghapusan tunjangan ini dikaitkan dengan regulasi penghasilan PNS di dalam
Undang-Undang 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Di
dalam UU ASN itu dinyatakan bahwa penghasilan PNS hanya ada tiga item. Yaitu gaji,
tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan. Kabar penghapusan TPG itu sontak
membuat gaduh mulai dari kantor Kemendikbud di Senayan sampai di
sekolah-sekolah.
Informasi
penghapusan TPG reda, muncul lagi kegaduhan soal pemangkasan nominal TPG yang
diterima guru. Pemangkasan itu dikait-kaitkan dengan nilai yang diperoleh guru
dalam uji kompetensi guru (UKG). UKG ini sampai saat ini masih berjalan secara online sampai 27 November nanti.
Banyak
guru yang cemas. Mendadak sekali mereka diharuskan mengikuti ujian kompetensi.
Kemudian jika nilainya jelek atau di bawah standar Kemendikbud, nominal TPG
mereka bakal dipotong.
Memang
Kemendikbud pada akhirnya bisa meredam isu miring itu. Namun di sejumlah tempat
masih ada guru yang mengikuti UKG dengan perasaan cemas. Bahkan di Padeglang,
Banten, ada guru sepuh yang nekat menyewa joki untuk mengerjakan soal UKG.
Tentu kasus perjokian di kalangan guru ini sangat memprihatinkan.
Mendekati
puncak pesta guru, kebisingan di dunia guru bukan hilang tapi malah muncul
kembali. Pemicunya adalah respon dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI),
yang merasa sebagai induk organisasi profesi guru, karena tidak dilibatkan
dalam HGN oleh Kemendikbud. Wajar PGRI keberatan, karena selama ini HGN yang
digelar pemerintah selalu dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun PGRI setiap 25 November.
PGRI
yang berbasis di kawasan Tanah Abang terus menyampaikan rasa kecewanya ke
Senayan, basis Kemendikbud. Tapi di sisi lain, Kemendikbud menolak disebut
tidak mengajak PGRI. Mereka beralasan sudah mengundang PGRI, tetapi tidak ada
balasan.
Sejumlah
kebisingan di dunia guru itu idealnya tidak perlu berlanjut. Baik dengan topik
yang sejenis maupun berbeda. Momentum HGN ke-21 harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk menata sistem pembinaan guru. Baik itu oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah, maupun organisasi profesi guru. Semua pihak ini harus
bersatu untuk mengembalikan khittah guru.
Banyak
rujukan yang bisa dipakai untuk mengembalikan khittah guru. Pertama kita bisa
merujuk pada tuntunan di Alquran. Di dalam Alquran sosok guru ideal bisa diresapi
dalam arti dan kandungan Surat Al-Alaq. Di dalam surat kategori Makkiyah yang
terdiri dari 19 ayat ini, tergambar bagaimana sosok ideal seorang guru.
Di
dalam surat itu terbesit sosok guru ideal adalah orang yang memiliki ilmu
pengetahuan yang dalam dan luas. Kemudian guru adalah sosok yang dituntut untuk
tidak berhenti belajar. Guru harus menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat.
Jika guru terus belajar, imbasnya pembelajaran di kelas tidak statis.
Pembelajaran bakal terus berkembang.
Rujukan
guru ideal berikutnya adalah Undang-Undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di
pasal 20 dinyatakan dengan jelas bahwa guru berkewajiban meningkatkan dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Jadi
tanpa dipaksa para guru professional harus tunduk kepada ketentuan
undang-undang itu. Guru memiliki kewajiban moral untuk terus belajar. Kalau
perlu ditunjukkan kepada muridnya ketika sedang belajar. Supaya guru tidak
memiliki beban moral ketika menyeru muridnya untuk belajar.
Rujukan
selanjutnya adalah petuah dari Ki Hajar Dewantara; Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Pria yang terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat itu disapa Ki,
karena Ki adalah sebutan guru laki-laki.
Para
guru harus berlomba untuk disebut Ki selayaknya Ki Hajar Dewantara. Atau Ki
pada sebutan dalang-dalang beken. Para dalang top dijuluki Ki karena dia juga
bertindak sebagai guru, melalui media wayang. Saking hebatnya para dalang bisa
membawa ’’muridnya’’ menikmati wayang semalam suntuk tanpa merasa kantuk.
Banyak
cara yang bisa dilakukan supaya guru bisa menjadi pembelajar. Caranya harus
ekstrim, karena sudah terlalu lama guru-guru berada di titik nyaman. Titik
nyama dimana dia cukup mengajar tanpa mau belajar lagi. Salah satunya adalah
membentuk semacam Gerakan Guru Belajar.
Gerakan
ini bisa menggunakan hari libur sekolah setiap Sabtu. Pada hari Sabtu guru-guru
yang libur itu diwajibkan mengikuti kelas. Materinya bisa terkait pelajaran
yang diampu atau urusan ilmu pedagogik. Pematerinya bisa dari teman sejawat
guru atau mengundang dosen dari bidang keguruan.
Dananya
dari mana? Kepala sekolah bisa mengambil sebagian TPG yang diterima guru. Guru
tidak akan protes kalau pemotongan itu memang untuk upgrading kemampuan dan transparan. Ketimbang TPG disunat tanpa
alasan yang jelas oleh oknum kepala sekolah atau orang dinas pendidikan.
M. Hilmi Setiawan
Wartawan Jawa Pos
email : saya@hilmisetiawan.net